Sabtu, 14 November 2015

Cerita barong landung

Barong Landung

Berawal dari kisah Bali Kuno, yang menceritakan sebuah Kerajaan Balingkang. Dari sinilah kisah kemunculan Barong Landung dimulai. Ketika itu, seorang raja bernama Sri Jaya Pangus memerintah Kerajaan Balingkang, ia memperistrikan seorang Putri Cina bernama Kang Cing Wei. Raja Jaya Pangus diwujudkan dalam Barong Landung ditokohkan dengan boneka besar hitam dan giginya ronggoh, sedangkan putri Kang Cing Wei ditokohkan dengan boneka cantik tinggi langsing bermata sipit dan selalu tersenyum mirip dengan roman muka seorang Cina. Bertahun-tahun lamanya setelah pernikahan Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We, kedua mempelai ini belum juga dikaruniai seorang anak. Ini membawa kesedihan yang amat mendalam pada pihak kerajaan dan seluruh rakyat Kerajaan Balingkang. Keadaan kerajaan saat itu menjadi sangat muram. Tertekan dengan apa yang terjadi, akhirnya Raja Sri Jaya Pangus memutuskan pergi meninggalkan Kang Cing We untuk mencari pencerahan. Pertualangan pun dilakukan oleh sang raja, hingga akhirnya membuat sang raja terdampar di sebuah tempat di kaki gunung batur.Di tempat itu Sri Jaya Pangus memutuskan untuk bermeditasi. Kehadiran sang raja ternyata menarik hati seorang dewi yang menguasai daerah tersebut. Dewi ini bernama dewi danu dan melahirkan seorang anak lelaki yang bernama Maya Denawa.Sementara itu, Kang Cing Wei yang telah lama menunggu suaminya pulang, mulai gelisah, Ia bertekad menyusul ke Gunung Batur. Namun di sana, di tengah hutan belantara yang menawan, iapun terkejut manakala menemukan suaminya telah menjadi milik Dewi Danu. Kang Cing We merasa kecewa dan sakit hati, lalu memutuskan untuk menyerang Dewi Danu yang merebut suaminya. Serangan dari Kang Cing We mendapat respon negatif dari Dewi Danu, dan akhinya karena kemarahannya iapun mengeluarkan pasukannya yang berbentuk raksasa dan memporak porandakan pasukan Kang Cing We. Tak tega melihat keadaan istri pertamanya yaitu Kang Cing We, sang raja akhirnya memutuskan untuk melindungi Kang Cing We dari serangan Dewi Danu. Raja menyadari cintanya kepada Kang Cing We tidak akan pernah mati walaupun telah lama meninggalkan permaisurinya tersebut. Melihat Kang Cing We dan Sri Jaya Pangus bersatu, membuat Dewi Danu kecewa.Dengan marah berapi-api Dewi Danu menuduh sang raja telah membohongi dirinya dengan mengaku sebelumnya sebagai perjaka. Dengan kekuatan gaibnya, iapun mengutuk kedua pasangan ini menjadi patung.Berita tentang berubahnya Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We menjadi patung, menyebabkan luka yang sangat mendalam bagi rakyat Kerajaan Balingkang. Kesedihan rakyat ini akhirnya membuat Dewi Danu tersadar telah berbuat kesalahan. Sang Dewi pun mengingatkan rakyat Balingkang untuk terus menghormati dan mengenang mendiang raja serta permaisurinya. Untuk selalu mengenang jasa-jasa sang raja, rakyat Balingkang akhirnya memutuskan untuk memanifestasikannya ke dalam sebuah barong. Mengingat Raja Sri Jaya Pangus dan Kang Cing We di kutuk oleh Dewi Danu. Dari patung itulah rakyat Balingkang membuat sepasang arca, sehingga arca inilah berkembang menjadi Barong Landung.





( Dari berbagai sumber )

Jumat, 13 November 2015

sejarah Rsi Markandeya




sejarah Rsi Markandeya

Masa sejarah Bali dapat dilihat kembali berawal dari abad ke 8 masehi, pada saat Rsi Markandeya menginjakkan kakinya di Pulau Bali ini. Rsi Markandeya adalah seorang pendeta Hindu Siwa Tattwa yang merupakan aliran yang diyakini oleh mayoritas masyarakat India pada saat itu terutama di tempat asal beliau yaitu di India Selatan.



Dalam catatan perjalannya (Markandeya Purana), dapat diketahui bahwa Rsi Markandeya pertama kali menetap di Gunung Dieng yang termasuk Kerajaan Mataram Kuno (Jawa Tengah) yang pada saat itu di bawah pemerintahan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu melanjutkan pemerintahan Wangsa Syailendra .Kemungkinan pada masa itu terjadi suatu peristiwa (alam) yang luar biasa yang memaksa pusat kerajaan Mataram ini di pindah ke wilayah Jawa Timur sekarang. Rsi Markandeya juga berpindah ke arah timur, mengikuti pergerakan penganut agama Hindu ke arah Jawa Timur yang kelak membentuk Kerajaan Medang Kemulan yang didirikan oleh Mpu Sendok.Setelah beberapa saat bemukim di Gunung Rawang, sekarang dikenal sebagai Gunung Raung (Jawa Timur), Rsi Markandeya kemudian tertarik untuk melanjutkan perjalannya ke timur.Pada masa itu Pulau Bali belum dikenal sesuai namanya sekarang.Dikisahkan pula Rsi Markandya bertapa di daerah Demalung sekitar Gunung Dieng, dari sini Beliau menuju ke timur dan bertapa di Gunung Raung Jawa Timur dengan di iringi 400 orang pengikut, lalu Beliau pergi ke Bali untuk menyelamatkan Pulau Bali. Pada saat kedatangannya yang pertama dengan menyeberang Segara Rupek (selat Bali) Rsi Markandeya setelah tiba di Bali, Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung.Di sanalah maha Rsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Misi beliau mengalami kegagalan dimana sebagian besar pengikutnya mengalami kematian ataupun sakit secara misterius. Beliau merasakan aura misterius yang sangat kuat menguasai pulau ini sehingga dia kemudian memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung dan bermeditasi/puja wali untuk meminta petunjuk agar bisa selamat dalam perjalanan ke Bali berikutnya.Dari hasil yoga beliau mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu adalah karena Beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.


Pura Besakih




Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Bali. Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, melakukan upacara suci/Pecaruan untuk keselamatan mereka selama berada di Bali.Beliau memutuskan untuk mengadakan upacara suci tersebut ditempat yang tertinggi di pulau ini yang juga diyakini sebagai tempat yang paling keramat. Mereka kemudian mendaki Gunung Agung yang pada saat itu dikenal dengan nama Toh Langkir. Di kaki gunung itu mereka mengadakan upacara suci yang aktifitas utamanya berupa penanaman Panca Datu, 5 unsur logam yang dianggap paling penting pada masa itu (emas, perak, perunggu, tembaga dan besi). Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat.Pada saat berada di ketinggian Toh Langkir tersebut Rsi Markandeya menyadari bahwa ternyata Pulau Bali hanya pulau kecil sehingga beliau menganggap bahwa nama Pulau Panjang kurang tepat dan menggantinya dengan nama Pulau Bali. Kata "bali" memiliki akar kata "wali" yang berasal dari bahasa Palawa yang berkembang di India selatan. Bali (wali) kurang lebih berarti persembahan, mengingat untuk mendapatkan keselamatan Rsi Markandeya harus mengaturkan persembahyangan/upacara suci terlebih dahulu dalam perkembangan selanjutnya Bali kurang lebih sama artinya dengan Banten pada masa sekarang ini.Selanjutnya beliau mengembangkan daerah Toh Langkir menjadi areal pura (tempat suci) yang dianggap sebagai Pura Utama di Bali. wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih. Pura lainnya yang erat kaitannya dengan Rsi Markandeya adalah Pura Silawanayangsari di Gunung Lempuyang.


Desa Puakan dan Taro


Dalam perkembangan selanjutnya Rsi Markandeya memutuskan untuk menetap di Bali dan menyebarkan agama Hindu. Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada disana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru.Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan.Setelah berhasil menunaikan tugas (merabas hutan), maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah.Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak. Di tempat ini Rsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan. Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada.Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa Balinya kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian. Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Pura Gunung Raung.



Ubud



Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan. Dataran perbukitan yang dipenuhi dengan pohon-pohon besar dan lebat, sehingga menjadikan tempat itu sangat baik untuk melakukan yoga dan semadi. Kautamaan Tanah di sekitar Pura Pucak Payogan, membuat Sang Maha Rsi lama berdiam di Payogan, mengajarkan banyak ilmu tentang alam dan spiritual tinggi. Dalam perjalanan sejarah Guru Suci Rsi Markandya dari Gunung Raung Jawa ke Bali, dalam proses penyebaran Agama Hindu beliau tiba disebuah lereng atau bukit kecil yang memanjang kearah utara dan selatan. Bukit ini diapit oleh dua buah sungai yang berliku yang mirip seperti dua ekor naga. Sungai yang berada disebalah barat bernama Sungai Wos Barat, sedangkan yang berada disebelah timur Sungai Wos Timur. Kedua sungai Wos barat dan Wos Timur bertemu menjadi satu disebuah lokasi yang disebut dengan campuhan. Di Campuhan inilah Rsi Markendya mengadakan tempat pertapaan dan beliau mulai merambas hutan untuk membuat pemukiman dan membagikan tanah pertanian bagi pengikutnya. Dengan demikian sempurnalah Yoga Sang Resi, dengan ditandai dengan mulainya kehidupan masyarakat di Desa ini dengan dianugrahinya tanah untuk pertanian sebagai sumber kehidupan. Sebutan Wos untuk kedua sungai yang telah bercampur dan melekat menjadi nama desa/pemukiman pada jaman itu. Sedangkan nama sungai ini sesuai dengan maknanya. Sesuai dengan isi lontar Markandya Purana, Wos ngaran “Usadi”, Usad ngaran “Usada”, dan Usada ngaran “Ubad”. Dari kata ubad ini ditranskripsikan menjadi UBUD. Tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Pura Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala


Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan. Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui. Mereka bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu. Dari tinjauan sejarah tidak banyak peninggalan tertulis dari Resi Markandeya selain dari pada Lontar Markandeya Purana tersebut dan pura-pura peninggalan beliau.

sumber: http://cakepane.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-rsi-markadeya.html?m=1

Selasa, 03 November 2015

Cerita Mayadenawa


Cerita Mayadenawa, Latar Belakang Hari Galungan

Cerita Mayadanawa merupakan gabungan antara cerita sejarah dan mithologis. Cerita ini merupakan latar belakang pelaksanaan Hari Raya Galungan bagi umat Hindu.Melalui link Ask Bhagawan Dwijadijelaskan bahwa (tanggapan terhadap pertanyaan tentang Hari Galungan) : "Mitologi Mayadenawa itu berkembang sejak Ida Manik Angkeran menjadi Pendeta Agung dengan gelar Sangkulputih.Tujuannya mengembangkan mitologi itu adalah untuk menyadarkan umat Hindu di Bali untuk selalu taat beragama. Jadi Mayadenawa itu fiktif.Uraian ini berdasarkan apa yang saya temukan dalam tafsir-tafsir Purana Besakih, Babad Manik Angkeran, dan Silsilah Raja-Raja di Bali/ orang-orang utama di Bali".Pada zaman dahulu, bertahta seorang raja Mayadanawa, keturunan Daitya (Raksasa) di daerah Blingkang (sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah raja yang sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada masa Mpu Kul Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya. Karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti. Tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang di mana-mana.Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar meminta pertolongan ke India (Jambudwipa). Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga, yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Dalam penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sangjayantaka. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan Naradha.Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadanawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhatara Indra menyerang, pasukan Mayadanawa memberikan perlawanan yang hebat.Selengkapnya bisa dilihat di http://tabahlink.blogspot.co.id/2012/01/cerita-mayadenawa-latar-belakang-hari.html?m=1